Kegiatan

Yaumul Ijtima Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung

Tegal luar, Sabtu 17/06/2023 sosialisasi peraturan perkumpulan (PERKUM) dan konsolidasi organisasi Nahdlatul Ulama, yang di adakan di pesantren Al Misbah, Desa Tegal Luar, menghadirkan para pengurus MWCNU Bojongsoang, hingga ranting.

Dalam sosialisasi PERKUM ini, hadir Sekretaris Nahdlatul Ulama Kabupaten Bandung, KH. Imron Rosyadi, yang memaparkan sejarah bagaimana Indonesia berdiri, yang di dukung oleh para kaum ulama, dengan jargonnya NKRI harga mati, Hubbul Wathon Minal Iman.

Cerita tentang dukungan penuh para ulama kepada proklamator Bangsa kita, Ir. Soekarno, dilandaskan pada kepentingan seluruh rakyat Indonesia agar terentas dari penjajahan.

Terpilihnya insinyur Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia, merupakan bagian dari cerita yang tak terpisahkan dari dedikasi peran para ulama dalam mengawal lahirnya negeri ini, hingga ikut menjaga, dan menjadi bentengnya NKRI, sehingga warga NU selalu berkomitmen kuat menjaga keutuhan bangsa ini.

Perkembangan bahwa suara masyarakat dalam bernegara, di wakili oleh partai, maka Setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 7 Nopember 1945 di Yogyakarta, dibentuk MASYUMI sebagai partai politik, dan dari muhtamar 13 di porwokerto, maka pada saat itu resmi NU masuk kepartai Masyumi, dan Mbah Hasyim menjadi Ketua Majelis Syuro sebagai pimpinan tertinggi di Masyumi. Sementara Sukiman Wiryosanjoyo menjadi Ketua dan KH Wahid Hasyim sebagai Ketua Muda.

Pada awal 1950-an Ketua Masyumi berganti dari Sukiman ke Moh. Natsir. NU mulai merasa “gerah” karena terjadi banyak perubahan yang merugikan. Majelis Syuro yang semula sebagai pimpinan tertinggi partai, berubah menjadi semacam Dewan Penasehat. Kursi Masyumi di DPR yang berjumlah 45 kursi, hanya 8 kursi saja yang ditempati orang NU. Padahal faktanya, NU lah kekuatan terbesar di Masyumi.

Dengan peristiwa ini, kekecewaan NU pada Masyumi tak bisa di tutupi lagi, dan akhirnya pada Muktamar NU di Palembang tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan menyatakan berdiri sendiri sebagai partai. Inilah puncak ketegangan NU dan Masyumi yang berlangsung tahun 1952. Dimana saat itu posisi NU mulai dipinggirkan seiring berakhirnya kabinet PNI-Masyumi yang dipimpin Sukiman pada 25 Februari 1952.

Hasil dari Muktamar NU ke XIX, pada 31 Juli 1952 NU resmi keluar dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik.

Dalam berkampanye NU mengusung jargon ‘Kerjasama Islam-nasional’. Jargon itu merujuk pada cita-cita Izzul Islam wal Muslimin (Kejayaan Islam dan para pemeluknya).

Pada pemilu 1955, NU membuktikan diri mampu mengalahkan Masyumi.

“Itulah mengapa kita perlu berpolitik, karena dengan kita ikut terlibat di dalamnya, kita bisa menentukan arah langkah kedepannya bagi pembangunan yang akan di rencanakan.” Papar KH. Imron Rosyadi Sekretaris PCNU kabupaten Bandung ini menandaskan penting terlibat dalam kencah dunia politik.

Dalam pemaparan soal PERKUM, Ketua Ma’arif Aden Syarif, manyampaikan arti slogan NU yakni, ‘Merawat Jagat Membangun Peradaban,’ adalah “mereka yang ada dalam lingkaran kekuasaan di pemerintahanlah yang bisa memberi kekuatan dalam merawat jagad, dan kita harus bisa terus mempertahkan hal itu, di mana pemerintahan kita saat ini di pegang oleh kader NU, dan Membangun Peradaban, hanya bisa di lakukan ketika kita memiliki kewenangan dalam kekuasaan.” Tuturnya.

“Maka wajar kita sebagai warga Nahdliyin, harus membentengi figur Bupati kita kang DS, dengan kekuatan bersama dalam satu suara yang tidak bisa di goyahkan siapapun.” Papar Aden Syarif dalam penyampaian penguatan PERKUM yang disosialisaikan pengurus PCNU kabupaten Bandung.

Pewarta Bambang Melga Suprayogi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button